Welcome to hidayah's blog..... matur thank you nggiih..

EUTANASIA

23.45 Edit This 0 Comments »
BAB I
PENDAHULUAN

لَا يَحِلُّ قَتْلَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ اِلَّا بِأِحْدَى ثَلَاثٌ كُفْرٌ بَعْدَ اِيْمَانٍ اَوْ زَنَا بَعْدَ اِحْصَانٍ اَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ (رواه بخرى)
“Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina setelah menikah, dan membunuh oranglain tanpa sebab” (HR Bukhori)
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَ غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَ لَعَنَهُ وَ اَدَّلَهُ عَذَابًا عَظِيْمًا (النّساء : 93)
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (An-Nisaa’: 93)
Dalil diatas menjelaskan bahwa diharamkan seseorang membunuh seorang mu’min yang lain tanpa sebab. Karena balas7annya adalah neraka Jahannam.
Tetapi bagaimana jika seorang dokter atau siapapun membunuh seorang pasien yang sedang sakit yang tidak kunjung 4sembuh atau tidak ada harapan untuk sembuh?
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai boleh tidaknya membunuh pasien yang sakitnya tidak ada harapan untuk bisa sembuh atau yang biasa di sebut EUTANASIA.

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Eutanasia
Menurut ensiklopedia Indonesia, bahwa eutanasia berasal dari Yunani eu yang berarti “baik” dan thanatos yang berarti kematian. Dalam istilah Arab dikenal dengan qath’u ar-rahma atau taisir al-maut. Kata tersebut dikenal dalam kedokteran adalah tindakan kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal diperingan. Dalam kata lain juga juga tindakan mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Menurut Yusuf Qardhawi Qatl ar-rahmah atau taisiri al-maut (Eutanasia) ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negankan penderitaan si sakit, baik dengan car positif maupun negatif.
Eutanasia positif ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang— yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Tiga bentuk eutanasia:
1.      Volu5ntary euthanasia: eutanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan tidak sanggup menahan rasa sakit yang dakitbatkannya
2.      Non voluntary euthanasia: orang lain atau bukan pasien (keluarga pasien) yang tidak tega melihat keadaan pasien yang sangat menderita
3.      Involuntary euthanasia: merupaka pengakhiran kehidupan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien.

B.            Hukum Eutanasia
1)      Euthanasia aktif/ positif
Syari’ah Islam mengharamkan eutansia aktif/ positif, karena termasuk pembunuhan dalam kategori pembunuhan sengaja, walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Di dalam hukum Islam, kerelaan pasien untuk dibunuh bukan suatu penyebab kebolehan pembunuhan, karena ketidakrelaan korban itu bukan merupakan unsur jarimah/ tindak pidana pembunuhan. Dalam kasus mercy killing ini rasanya yang terpenting adalah harus tetap berusaha menyelamatkan jiwa manusia semaksimal mungkin. Jika usaha tersebut tidak berhasil, maka lebih baik diserahkan kepada keluarganya (dalam kaitannya dengan pasien yang tidak dapat disembuhkan oleh pihak rumah sakit untuk dibawa pulang.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu yang mengharamkan pembunuhan baik pembunuhan jiwa orang lain maupun membunuh diri sendiri.
وَ لَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ اِلَّا بِالْحَقَ ....(الانعام: 151)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. (QS. Al-An’am: 151)
وَ لَا تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ ج اِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا (النساء: 29)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (An-Nisaa’: 29)
Juga diperkuat dengan sabda Nabi:
“Tidak ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan piasau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah bersabda, “HambaKu telah menyegerakan kematiannya sebelum Aku mematikan. Aku mengharamkan syurga untuknya””. (HR.Bukhory dan Muslim)
2)      Euthanasia pasif
Sedangkan hokum euthanasia pasif, yang dalam kasusnya adalah menghentikan pengobatan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengibatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernafasan buatan dari tubuh pasien.
Berkaitan dengan kasus tersebut, para ulama berbeda pendapat tentang hokum berobat itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh? Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsy. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:
إن أحببت أن تصبري ولك الجنه, وإن أحببت دعوت الله أن يشفيك, فقالت: بل أصبر, ولكني أتكشف, فادع الله لي ألا أتكشف, فدعالها ألا تتكشف.
”Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan syurga; dan jika engkau mau,akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. Sebenarnya saya tadi ingin dhilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakan kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya. Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya”. (Muttafaq ‘alaih)
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunah), dan sebagian kecil lagi –lebih sedikit dari golongan kedua- berpendapat wajib.
Dalam hal ini Yusuf Qardhawi sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta’ala.
Oleh karena itu pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan untuk sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hokum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya (yaitu para dokter) maka tidak ada seorangpun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan (dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glucose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern) dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini tidak seyogianya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasusu ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunah, sehingga tidak dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara’ –bila keluarga penderita mengijinkannya— dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, Insya Allah.

C.           Euthanasia Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia
Kode etik kedokteran dalam pasal 2 dijelaskan bahwa “seorang dokter harus senatiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melaksanakan kegiatan profesinya harus sesuai dengan ilmu kedokteran, hokum dan agama. Dalam pasal 7 juga menjelaskan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban kewajiban melindungi hidup insane. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan: menggugurkan kandungan, mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi.


D.           Contoh Kasus Eutanasia
1)      Euthanasia positif
Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (over dosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernafasannya sekaligus.
2)      Euthanasia negative
Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
3)      Kasus Hasan Kusuma
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

BAB III
KESIMPULAN

1.               Eutanasia berasal dari Yunani eu yang berarti “baik” dan thanatos yang berarti kematian. Dalam istilah Arab dikenal dengan qath’u ar-rahma atau taisir al-maut. Kata tersebut dikenal dalam kedokteran adalah tindakan kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal diperingan. Dalam kata lain juga juga tindakan mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
2.               Dalam praktik kedokteran dikenal dua macam euthanasia, yaitu eutanasi aktif dan pasif. Eutanasia positif/ aktif ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang— yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Eutanasia negatif/ pasif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
3.               Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, pertama: Voluntary euthanasia: eutanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan tidak sanggup menahan rasa sakit yang dakitbatkannya. Kedua: Non voluntary euthanasia: orang lain atau bukan pasien (keluarga pasien) yang tidak tega melihat keadaan pasien yang sangat menderita. Ketiga: Involuntary euthanasia: merupaka pengakhiran kehidupan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien.
4.               Haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk dalam kategori tpembunuhan sengaja yang merupakan tindak
5.               pidana dan dosa besar. Sedangkan hokum euthanasia pasif berkaitan dengan hokum berobat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya sunah, tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat. Jika hokum berobat wajib, maka menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) adalah haram. Tetapi hokum berobat sunah, maka menhentikan pengobatan adalah mubah atau boleh.


DAFTAR PUSTAKA

Habiyallah. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia. 2009

Yusuf, Qardhawi. Fatwa-fatwa Komteporer jil.2. Jakarta: Gema Insani Press. 1

0 komentar: