Welcome to hidayah's blog..... matur thank you nggiih..

NIKAH SIRRI

23.48 Edit This 0 Comments »
BAB I
PENDAHULUAN
Perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat adalah kasus yang lama sekali muncul dan hadir di tengah masyarakat, tetapi selama itu pula jeratan hukum begitu menyiksanya terutama bagi para istri. Hak dan kewajibannya dirampas oleh hukum atau Hakim. kajian perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat termasuk kajian etika terapan, karena perkawinan sirri dipandang menurut norma hukum dan norma agama. Padahal mempelajari norma hukum atau norma agama berarti mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat.
Jelas bagi kita bahwa perkawinan diadakan untuk menyelamatkan moral kebudayaan, sehingga prilaku seksual menyimpang dapat dikikis. Budaya freeseks yang sedang menjadi perhatian orang banyak merupakan budaya barat yang sangat merugikan secara hukum pada perempuan atau anak yang dikandungnya, karena pembelaan hak-hak anak, atau uang belanja istri menurut hukum diakui berdasarkan adanya perkawinan. Jika mereka tidak memiliki akta perkawinan, maka akan hilang begitu saja hak-haknya.
Menurut kajian ilmu hukum pencatatan adalah wajib, hal ini karena pencatatan menjadi alat pembuktian, yaitu pembuktian secara otentik. Sedangkan menurut norma agama pencatatan merupakan kesunatan, keberadaanya bukan menjadi syarat sahnya perkawinan akan tetapi menjadi wajib apabila sudah menjadi undang-undang.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nikah Siri
Nikah siri yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.

B.     Macam-Macam Nikah Sirri
a.      Nikah yang dialakukan tanpa adanya wali.
Pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa pernikahan yang dilakuakan tanpa wali adalah tidak sah. Sebab wali merupakan rukun sahnya pernikahan. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:
لا نكاح إلا بولي
"Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali." [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla', kata "laa" pada hadits menunjukkan pengertian 'tidak sah', bukan sekedar 'tidak sempurna' sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

"Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya bati, pernikahannya batil, pernikahannya batil". [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
b.      Pernikahan yang dialakukan tanpa dicatatkan oleh petugas PPN yang ada dibawah wewenang KUA atau disebut juga nikah dibawah tangan.
Pernikahan seperti ini menurut agama hukumnya sah akan tetapi dari segi hukum formal atau undang-undang bahwa perrnikahan tersebut tidak sah. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar'i (bayyinah syar'iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa pernikahan itu haruslah dicatat kepada lembaga pemerintah (KUA/catatan sipil) sebagai berikut:

Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... (QS AL-Baqarah: 2)
c.       Pernikahan yang dilakukan tanpa adanya saksi.
Pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa perkawinanya tidak sah. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda:
Artinya;
Dari Aisyah bahwa rasul allah saw berkata tidak ada nikah kecuali denagan wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Al-Daraquthniy)
d.      Pernikahan yang dihadiri saksi dan wali akan tetapi tidak di I'lankan kekhalayak (penyampaian berita kepada khalayak) atau disebut juga walimah. Sebagian ulama berkata bahwa melaksanakan walimah di dalam pernikahan itu wajib hukumnya. Akan tetapi tidak semua mengatakan bahwa hal tersebut wajib. Seperti halnya hadis dibawah ini:
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
"Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing".(HR. Bukhari dan Muslim)



C.     Latar Belakang Melaksanakan Nikah Sirri
Yang melatarbelakangi orang melaksanakan nikah siri adalah sebagai berikut:
1.   Hamil Diluar Nikah
Budaya barat yang merebak dan ditelan mentah-mentah mempunyai pengaruh besar dalam merubah prilaku dan pola pikir seseorang tanpa disaring terlebih dahulu, akibatnya pergaulan yang mereka lakukan terkadang melampaui batas, tidak lagi mengindahakan norma dan kaidah-kaidah agama. Akibatnya ada hal-hal lain yang timbul akibat pergaulan bebas seperti hamil diluar nikah.
Kehamilan yang terjadi diluar nikah tersebut, merupakan aib bagi keluarga yang akan mengundang cemoohan dari masyarakat. Dari sanalah orang tua menikahkan anaknya dengan laki-laki yang menghamilinya dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga. Dan tanpa melibatkan petugas PPN, tetapi hanya dilakukan oleh mualim tanpa melakukan pencatatan.
2.      Tidak Mendapat Izin/Persetujuan Istri
Maksudnya, seorang suami dengan sengaja meminta izin/persetujuan dari istri sebelumnya untuk melakukan poligami. Jika kita melihat aturan hukum undang-undang perkawianan No 1 tahun 1974 pernikahan yang kedua kalinya atau lebih harus mendapat izin dan persetujuan dari istri sebelumnya hal ini sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam pasal 5 undang-undang No 1 tahun 1974 yaitu adanya persetujuan dari istri-istri.


3.      Alasan Ekonomi
Rukun Nikah yang telah menjadi ijma' yakni adanya mempelai laki-laki, adanya mernpelai perempuan, ada wali (bagi si perempuan), Saksi nikah (minimal dua orang laki-laki), adanya mahar (mas kawin), ada aqad (ijab dari wali perempuan dan wakilnya dan qabul dari mempelai laki-laki, atau wakilnya).
Apabila pernikahan biasa, seorang pemuda selain harus membayar mas kawin yang mahal, juga menyediakan rumah dan menanggung biaya pesta yang tergolong besar untuk ukuran kebanyakan.
Karena itu, banyak pria lebih memilih menikah dengan cara diam-diam yang penting halal alias ada saksi tanpa harus melakukan pesta dengan tamu undangan seperti lumrahnya pernikahan biasa. Salah satu sebab utamanya adalah faktor ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah dengan cara sirri yang penting halal.
4.      Kurangnya Pemahan dan Kesadaran Masyarakat Tentang Pencatan Pernikahan
Dengan pemahaman masyarakat yang sangat minim akibatnya kesadaran masyarakat pun mempengaruhi melaksanakan pernikahan siri. Adanya anggapan bahwa perkawinan yang dicatat dan tidak dicatat sama saja. Padahal telah dijelaskan dalam undang-undang perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:
"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS)."
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
5.      Sulitnya Aturan Berpoligami
Di Indonesia, masalah poligami telah diatur dalam undang-undang No 1 Thn 1974 undang-undang tersebut menyiratkan betapa sulitnya berpoligami hal tersebut sengaja dilakukan untuk memperkecil kemungkinan adanya poligami dikalangan para pria yang telah menikah. Jika ditinjau dari kacamata agama bahwasannya islam telah mengsyariatkan seorang laki-laki muslim boleh berpoligami dengan syarat adil.

D.    Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni (1) hukum pernikahannya, dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di Lembaga Pencatatan Negara.
1.   Pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori mengerjakan yang haram dan meninggalkan yang wajib. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan, sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah, atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut, pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya. kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya. ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
2.   Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, pada dasarnya fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’i adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’i. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’i bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka, walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS AL Baqarah: 2)
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat, seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya, dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara, padahal negara telah menetapkan aturan tersebut telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah pihak yang secara syar’i absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alias demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya, maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya, sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.(HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan, di antaranya adalah: (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat, (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai, (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah, misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut, pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya, dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

E.     Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah:
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’i benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’i antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri, padahal mereka sudah bercerai, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat agar masyarakat semakin memahami hukum syariat, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.



F.     Dampak Nikah Siri
1.   Dampak Positif
a.    Meminimalisasi adanya sex bebas, serta berkembangnya penyakit AIDS, HIV maupun penyakit kelamin yang lain.
b.   Mengurangi beban atau tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya.
2.   Dampak Negatif :
a.    Berselingkuh merupakan hal yang wajar.
b.   Akan ada banyak kasus Poligami yang akan terjadi.
c.    Tidak adanya kejelasan status istri dan anak baik di mata hukum Indonesia, maupun di mata masyarakat sekitar.
d.   Pelecehan sexual terhadap kaum hawa karena dianggap sebagai pelampiasan nafsu sesaat bagi kaum laki-laki.
Maka dengan demikian jika dilihat dari dampak-dampak yang ada, semakin terlihat bahwasannya nikah siri lebih banyak membawa dampak negatif di banding dampak positifnya. Serta akibat hukum dari nikah siri itu sendiri :
a.    Sebagai seorang istri kita tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
b.   Untuk hubungan keperdataan maupun tanggung jawab sebagai seorang suami sekaligus ayah terhadap anakpun tidak ada. Seperti nasib anak hasil dari pernikahan yang dianggap nikah siri itu, akan terkatung-katung. Tidak bisa sekolah karena tidak punya akta kelahiran. Sedangkan semua sekolah saat ini mensyaratkan akta kelahiran.
c.    Dalam hal pewarisan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri maupun isteri yang dinikahi secara siri, akan sulit untuk menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang adanya hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri siri dengan suaminya tersebut.



















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan:
Nikah Siri menurut syariat islam adalah sah jika dilakukan dengan tata cara islam. Namun secara hukum di Negara kita belum ada kejelasan tentang perkara ini. Maka Peradilan Agama Bidang Perkawinan mengajukan RUU Nikah Sirri yang menuai kontroversi. Disatu sisi Nikah Sirri secara syariat Islam adalah sah, namun pada kenyataannya pernikahan itu tidak akan dicatat petugas sipil sehingga akan menimbulkan masalah ketika mereka akan mengurus kepentingan sebagai warga sipil.
 Selain itu Nikah Sirri juga sedikitnya akan menimbulkan fitnah karena pernikahan tersebut dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Untuk para wanita yang melakukan Nikah Sirri, dalam Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali karena dalam hadist telah dikatakan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada
Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia.








DAFTAR PUSTAKA
Ghojali, Abdul Rahman. 2008. Fiqih Munakahat. Jakarta: kencana
Hakim, Rahmat. 2000.  Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Satria
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah. 1989. Jakarta: Pustaka Asmani
Rafiq, Ahmad.1998.  Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
 

0 komentar: